My Stories

Created By: Bieber Ann Potter
Tittle: My Life

Chapter I


Tuhan, jika kau ijinkan aku untuk hidup aku akan menikmatinya. Tuhan, jika kau mengijinkan aku untuk menikmati dunia, aku akan berusaha untuk tak begitu terhanyut. Tuhan, jika kau membiarkan aku terhanyut, aku akan berpegangan seerat mungkin dan menanti uluran tangan-Mu. Tuhan, jika kau tak mengijinkan aku untuk hidup, aku akan menerimanya. Tuhan, jika kau tak mengijinkan aku menikmati dunia, aku akan berusaha untuk menikmati ketidaknikmatan itu…
Dunia hitam putih bagiku. Merah tak berarti, begitu pula dengan yang lainnya. Tak ada perbedaan yg pasti hanya perkiraan belaka yang kukira- kira. Suara terdengar begitu samar padahal aku mendengar dengan seksama. Tawa terdengar lirih, canda terdengar menyedihkan. Begitu pula dengan tangisan. Bagiku setiap air mata yang terbuang adalah kasih Tuhan. Karena Tuhan tau, tanpa air mata aku tak akan bisa bersyukur. Dengan diriku, dan dengan pinjaman waktu-Nya untukku.
Aku bersyukur dengan diriku. Walau aku tak punya untaian benang terindah diatas kepalaku dan pipi yang bagai bantalan berisi. Bukan bantal yang robek dan kehilangan busa. Seperti milikku. Cekung bukan cembung yang terlihat. Tulang bukan garis senyum yang terlihat. Jari yang lentik yang dinanti seseorang di suatu saat nanti, serta bibir indah yang akan dinanti senyumnya.
Walau diriku hanya bagaikan seonggok debu yang begitu rapuh dan mudah terbawa. Walau diriku hanya sumber segala umpatan dan pertengkaran. Walau diriku hanya ranting yang ingin diinjak dan tak ada yang peduli. Walau aku hanya kotoran yang ingin dibersihkan dari pakaian. Walau aku hanya rasa malu yang harus dihilangkan. Walau aku hanya….
Seiring waktu aku pun semakin rapuh, namun aku tetap berusaha berdiri,  walau aku tak bisa. Bagai sebatang tunas yang mencoba bertahan ditengah derasnya hujan. Aku berusaha tegak walau aku sebenarnya menunduk.
Aku tidak tahu sampai kapan ini akan berlanjut, aku akan terus mengisinya hingga aku tak sanggup untuk memegang pena. Hingga aku hanya akan terpejam dan tertidur. Hingga mawar putih, menghiasi rumah terakhirku.
Bolehkah aku mengisinya secara terbalik? Ah, sungguh tidak masuk akal. Aku baru memulai ini disaat itu tengah terjadi. Ya sudahlah, aku akan coba mengingat kejadian sebelumnya.
Tujuanku membuat ini? Untuk apa ya? Aku tidak tahu. Bisa kau beritahu aku?
Aku hanya ingin menulisnya saja. Aku tidak ingin rasa kasihan, tapi kuharap kalian, siapapun yang menemukan ini akan belajar untuk menikmati segala yang kalian miliki.
02-03-2009
Aku tidak tau pasti kapan hal ini terjadi, tapi kurasa tanggalnya benar.
Hari ini adalah dimana aku mulai merasa kalau ada yang salah dalam diriku. Aku mulai sering mimisan. Walau pada awalnya aku tidak tahu, karena aku tak bisa membedakan warna. Aku berusaha menutupinya, tapi ibuku mengomel karena tempat sampahku selalu penuh karena banyaknya tisu yang aku pakai untuk mengelap hidungku.
05-03-2009
Aku semakin parah. Tapi aku berusaha untuk menyembunyikannya dari ibuku.
08-03-2009
Ibuku tahu keadaanku. Dia memarahiku karena aku tidak menjaga diriku baik- baik. Dia membawaku ke dokter. Dan dokter bilang, aku menderita kanker otak. Ibuku terkejut begitu pula aku.
Dokter itu menyuruhku untuk menjalani kemotheraphy, karena ternyata kankerku sudah masuk stadium lanjut. Dan saat itu aku melihat wajah ibuku dipenuhi dengan amarah.
11-03-2009
Kemotheraphy tidak berjalan baik. Aku terus merasa tubuhku semakin rapuh. Dan rambutku mulai rontok satu persatu.
25-03-2009
Ahh,,,rambut terakhirku lepas. Aku menyimpannya sebagai.. entahlah sebagai apa.
Ibu marah besar karena aku sudah tak kuat lagi membantunya mengerjakan pekerjaan rumah.
30-03-2009
Aku tidak bisa bangun dari tempat tidur.
27-04-2009

Aku benar- benar seperti alien. Wajahku tirus, mataku cekung, tulang pipiku menonjol.

to be continued...


Jumat, 04 Maret 2011


WInter Boy

Created By: Bieber Ann Potter


Part 1


Pagi ini aku akan pergi ke bandara soekarno- hatta. Aku akan pergi ke London untuk menemui teman lamaku. Kabar terakhir yang kudengar, dia masuk ke penjara st. Hubbers. Aku tidak tahu pasti apa yang diperbuatnya. Tapi begitulah kabar yang kudengar dari Carneth –temanku saat masih di London.—
Aku ingat saat pertama kali bertemu dengan Carneth. Dia adalah anak yang kikuk. Dia tdk pandai bergaul. Sebenarnya, Carneth cukup cantik hanya saja tampangnya yang selalu murung membuatnya seolah- olah tak punya semangat hidup. Aku sendiri juga tidak tahu, jadi apa Carneth sekarang. Dia hanya bilang padaku bahwa dia telah menemukan pekerjaan yang cocok. Dan dia bisa menghidupi dirinya.
Mobil yang aku kendarai sudah masuk ke parkiran bandara soekarno- hatta. Aku turun dan langsung masuk. Aku tidak diantar siapapun. Karena semua orang sibuk. Kakak- kakakku sedang banyak pekerjaan. Ya.. orang tuaku sudah tiada sejak 3 tahun lalu. Mereka meninggal dalam kecelakaan maut di New York. Sehabis pulang dari konfrensi.
Setelah menunggu selama 10 menit, aku pun mulai menaiki pesawat.
Perjalanan kutempuh selama kurang lebih 6 jam. Setelah sampai di City airport, aku segera menghubungi Carneth
“ hallo, Carneth” ucapku
Terdengar suara samar di seberang. “ ya… oh, kau Alline, ehm… maaf disini sangat ribut. Kau sudah sampai?”
“ ya.. aku sudah sampai di City Airport.  Give me your address, Carneth.”
“ ok. Aku akan meng-sms mu.”
Aku memutus hubungan telepon dengan Carneth. Setelah 5 meenit, muncul pesan dari Carneth.
92a Narrow Street
London E14 8BP, United Kingdom

Aku pun langsung memanggil taksi dan pergi manuju alamat yang diberikan Carneth. Selama di perjalanan aku bernostalgia. Mengingat masa saat aku masih disini. Di tempat ini, London. Banyak kenangan yang indah disini. Terutama petemuanku dengan Winter Boy. Itulah julukan yang kuberikan untuknya. Untuk sahabat yang selalu melindungi aku, walaupun terkadang dia membahayakan dirinya sendiri.
Setelah kurang lebih 30 menit, aku pun sampai di alamat yang diberikan Carneth. Tepat di depan sebuah bar. Terpampang tulisan  Booty’s Riverside Bar di depannya.
Aku pun menghubungi Carneth lagi.
“ hallo Carneth, kau yakin ini tempatnya? Booty’s Riverside Bar?” tanyaku
“ hallo, ya.. benar/ masuklah. Temui security dan bilang kau temanku. Mungkin kau bisa menunggu di ruanganku. Aku akan menemuimu beberapa menit lagi. Aku sedang ada urusan sebentar…” terdengar  samar samar suara orang lain, lalu Carneth menyahut.” Sabar… aku ada urusan..” lalu dia melanjutkan” ehm… maaf Alline. Kau masuk saja ok.”
“ ya… baiklah..” ucapku memutuskan hubungan.
Aku pun melangkahkan kakiku memasuki bar tersebut. Saat masuk langsung tercium aroma alkohol yang menyengat. Aku langsung menemui security.
“ maaf, saya teman Carneth. Apakah ….”
“ ow, kau teman Carneth ya? Carneth bilang, kau disuruh manunggu di ruangannya. Mau kuantar?
“ ehm.. baiklah..”
Orang itu mengantarku ke sebuah ruangan di belakang bar. Ruangan itu tidak terlalu besar dan penuh dengan pakaian dan puntung rokok. Ruangan itu sepi. Tak ada orang di dalam.
“ tunggu saja. Kau mau bekerja disini juga?” Tanya security itu.
“ ehmm… tidak.”
Orang itu meninggalkanku. Aku duduk di kursi panjang dekat cermin. Sekitar 20 menit kemudian, terdengar suara langkah sepatu di koridor. Tapi sepertinya ada dua orang. Lalu terdengar suara samar.
“ Carneth, what are you doing tonight, baby?”
“ oh… sorry Carlosh. Aku ada tamu malam ini.” Terdengar suara Carneth.
“ siapa? Apa dia membayar lebih mahal dariku?”
“ tidak, bodoh. Dia temanku. Teman lamaku. Dan satu lagi, dia tidak meminta jasaku. Mengerti?”
“ oh… baiklah. Tapi besok kau harus pergi denganku.”
Aku pun memberanikan diri mengintip lewat sela pintu. Kulihat seorang pria tinggi sambil memegang botol alkohol merangkul bahu Carneth. Carneth berusaha menyingkirkan tangan pria itu, tapi sepertinya pria itu mabuk.
“ ow, baiklah Carneth sampai jumpa besok. “ ucap pria itu seraya melepaskan tangannya. Tapi sebelum pergi dia mencolek pantat Carneth. Aku kira Carneth akan marah, tapi dia berlalu begitu saja. Aku pun segera duduk melihatnya menuju ruangan ini.
“ hai, Alline. Sudah lama menunggu ya?” ucap Carneth.
“ apa yang kau lakukan dengan pria itu? Oh… jadi ini pekerjaan yang kau maksud?” ucapku seraya memperhatikannya memakai mantel.
“ oh.. ayolah, Alline. Aku bukan dirimu. Aku tidak punya pekerjaan lain. Kau kan tahu, ayahku hanya seorang pemabuk yang tak bisa melakukan apapun. Dia hanya pengangguran. Sedangkan kakakku? Apa yang bisa kuharapkan dari dia. Lagipula sekarang dia sudah mati.” Ucap Carneth sambil menyalakan sebatang rokok.
“ apa? Joe mati?”
“ ya… dia bunuh diri. Ya… baguslah. Jadia dia tidak merepotkan kami lagi. Aku sudah muak dengannya. “ ujar Carneth” ah sudahlah… tak usah membuang waktu. Ayo kita pergi ke flatku. Kau boleh bermalam disana.”
Aku pun segera mengikuti Carneth. Kami keluar melalui pintu belakang. Udara berhembus dingin sekali. Ini adalah awal musim dingin. Sekitar 3 hari lagi mungkin salju akan turun.
“ sekarang kau tinggal dengan siapa?” tanyaku pada Carneth.
“ aku tinggal sendiri. Kau kira aku sudi tinggal dengan laki- laki bajingan itu? Tidak akan.”
“ sekarang ayahmu dimana?”
“ hah… entahlah. Mungkin jadi gelandangan, atau bahkan sudah mati. Aku kabur dari rumah sejak lulus sma. Aku tidak tahan lagi. Dia sudah sangat parah.” Ucap Carneth sambil menghembuskan asap rokok.
“ oh…”
“ hey, ngomong- ngomong bagaimana kabar orang tuamu?”
“ ah… mereka sudah meninggal. Kecelakaan.”
“ yah.. setidaknya mereka meninggal dengan cara yang wajar. Dan tentu saja mereka tak akan menyesal karena puna anak sepertimu, Alline.” Ucap Carneth.
Kami terus berjalan sampai akhirnya sampai di Flat kecil milik Carneth.
“ masuklah. Di luar dingin sekali.” Ucap Carneth.
Aku masuk dan langsung duduk di sofa kecil dekat perapian. Carneth pun segera menyalakan perapian. Aku bangun dan langsung membuka mantelku.
“ bagaimana kabar Alex. Kau bilang dia masuk penjara.”
“ ya… tapi kabar itu sudah lama sekali aku tidak tahu bagaimana keadaannya sekarang.”
“ memangnya dia terkena masalah apa?”
“ aku sendiri tidak tahu, tapi yang kudengar dia tersangkut kasus penyelundupan narkoba. Aku tdk tahu kalau dia sampai jadi Bandar. Tapi, dia memang sudah kecanduan sejak sma.” Ucap Carneth sambil menuang teh. Kemudian dia berjalan kearahku dan menyerahkan secangkir teh panas itu kepadaku.
“ kau mau bantu aku mencarinya?” tanyaku
“ tentu. Aku juga ingin sekali bertemu dengannya. Kau tahu, terakhir aku bertemu dengannya saat aku lulus smp. “ucap Carneth. “ tapi sepertinya kau ingin sekali bertemu dengannya. Why? you … like him?” Tanya Carneth sambil tersenyum.
“| eh… tidak. Aku hanya ingin mengembalikan barang miliknya.” Ucapku.
“ hanya karena itu? Memang seberharga apa barang miliknya sehingga kau mau kembali ke tempat ini. Apa lebih dari 1 juta pound?”
“ tidak. Barang itu tak ternilai harganya buatku. Lagipula aku ingin mengucapkan terima kasih pada pelindungku.”
“ hhhh… sungguh manis.”
“ Carneth… kau menyebalkan.” Ucapku sambil tersenyum. Carneth membalas senymanku dengan derai tawanya yang begitu hangat. Tidak sebeku dirinya dulu.
Esoknya aku bersiap pergi ke penjara st. Hubbers.
“ Carneth, ayo.” Ucapku
“ sabar. Aku akan menelepon bosku bahwa hari ini aku tidak bisa bekerja.”
“ alright.”
Aku menunggu selama 10 menit. Dan kemudian kami langsung menuju penjara st. Hubbers.
Selama di perjalanan aku membayangkan kembali saat aku pertama pergi ke London.
Waktu itu ayahku mendapat tugas untuk bekerja di London sementara waktu. Rumah pertama kami di London adalah di Freadhet street. Aku tinggal di rumah yang sangat menakjubkan buatku. Ya.. walaupun mungkin untuk kebanyakan orang rumah itu biasa. Yang paling aku suka adalah ruangan sempit yang ada di bawah tanga. Ruangan itu penuh dengan buku cerita.
to be continued...

Rabu, 29 Desember 2010


Wheres My First Dating

Created By: Bieber Ann Potter
Tittle: Wheres My First Dating??

Part II

“ tapi….”
“ sudah,, tak ada tapi tapian. Greg suka buah apa?”
“ cerry. Tapi…”
“ cerry… cery.. kurasa aku punya. Nah.. ini dia.” Ucap Carneth sambil menunjukkan lipgloss berwarna merah muda itu.
“ aku…”
“ diam dan biarkan aku bekerja.” Ucap Carneth dan langsung mengoleskan lipgloss itu diatas bibirku.
“ ehm…” erangku.
“ sudah,, kau terlihat manis sekali. Kuharap Greg tidak terlalu bernafsu untuk menjilati bibirmu hingga rasa buahnya habis. Hihi…” Carneth cekikikan sendiri.
“sudah,, pakai bajumu sana. Kita masih punya waktu satu jam sebelum kau berangkat. Lagi pula aku belum menata rambtmu. Tapi sebaiknya biarkan rambutmu tergerai.”
“ ya…” aku pun segera ganti baju.
Setelah keluar kamar mandi, Carneth langsung menarikku duduk di kursi dan langsung menata rambutku.
15 menit lagi, Greg akan menjemputku. Aku sudah bilang adanya bahwa aku berada di rumah Carneth dan aku menyuruhnya mejemputku disini.
“ sepatunya pas kan??” Tanya Carneth sambil mengerling sepatu ungu tua yang kupakai.
“ ya… sedikit kecil sih sebetulnya, tapi tidak apa.”
Tak lama Greg pun datang.
“ I’ll keep my finger crossed.” Ucap Carneth
“   thanks.”
“ tidak lama menunggu kan?” Tanya Greg
“ tidak.”
“ ayo kita segera pergi.” Ucap greg
“ thanks, Carneth.” Ucapku
“ pergilah”
Aku dan Greg pun pergi. Kami menuju sebuah rave.
“ rave? Kau tidak bilang kan, kalau kita akan ke rave?”
“ tenang.. kita tidak akan di dalam. Ada tempat yg indah tepat dibelakang rave. Kita akan kesana. “ ucap Greg.
“ OH, OK.Baiklah.” ucapku sambil menerima uluran tanga Greg dan kami langsung menuju tempat yang dimaksud Greg.
Menurutku, tempat itu lumayan indah. Ya… walau beberapa tumpuk drum merusak pemandangan, tapi lainnya.. menurutku indah. Ada satu bangku disana dan tidak ada atap. Jadi kami bisa langsung melihat ke langit yang penuh bintang. Udara malam yang dingin, membuatku refleks menarik cardigan yang kupakai.
“ dingin ya?” Tanya Greg
“ tidak begitu”
“ apa sebaiknya kita pindah tempat. Ke tempat yang lebih hangat mungkin.”
“ tidak perlu. Aku suka tempat ini. Lagipula kita kan sudah jauh- jauh dating kesini. Kenapa harus pergi?” ucapku sambil menarik tangan Greg menuju bangku satu- satunya ditempat itu.
Kami duduk dan diam dalam beberapa menit. Aku sedikit gerogi dan mungikin hal itu juga terjadi pada Greg. Lalu, tanpa disengaja secara bersamaan kami saling berhadapan. Angin membelai lembut rambut dan bajuku.
“ apa aku membuatmu gila?” Tanya Greg tiba- tiba
“ apa??” lalu, aku sadar bahwa Greg membaca kaosku. Dan aku pun reflex menutupnya dengan cardiganku.
“ tidak.. maksudku, ini semua ide Carneth. Dia bilang tidak usah memikirkan soal…”
“ aku menyukainya”
“ apa??”
“ ya.. tak usah pikirkan soal kaosmu. Dan aku suka kaos yang kau pakai.”
Lalu, aku merasakan sesuatu berjalan melintasi kakiku.
“ aaa…” jeritku.
“ ada apa?”
“ aku tidak tau. “ kemudian, kuliht ekor tikus mencuat dekat bangku yang kami duduki. “ tikus..”
“ sudah jangan khawatir.”
Greg menatap mataku, kemudian kurasakan wajahnya makin dekat hingga aku bias melihat jelas cerminan wajahku dimatanya. Tapi, tikus itu tiba tiba loncan ke depan mukaku dan aku menjerit. Namun, jeritanku lama- lama menghilang, semuanya sunyi dan aku merasa ada sesuatu yang menarikku. Aku tertidur.

To Be Continued...

Me, Ballet, and My Life

Created By: Bieber Ann Potter
Tittle: Me, Ballet, and My Life


Part II



Udara di luar gedung pertunjukkan sangat dingin. Angin kencang disertai hujan langsung menerpa tubuhku begitu aku keluar gedung. Dalam sekejap, mantel yang kupakai pun sudah basah. Lapangan parkir depan gedung sudah nyaris kosong. Hanya ada 2 mobil disana. Dan salah satu mobil itu sepertinya milik Clarenz.
Aku terus berjalan menembus angin kencang. Aku harus berusaha keras memegangi shall-ku agar tidak terbang.
Rumahku sebenarnya tidak begitu jauh dari gedung pertunjukkan. Tapi, mom dan dad tidak pernah mau berkunjung. Aku sudah mulai bergabung sejak 4 tahun yang lalu. Tepatnya saat umurku 11 tahun.
 Sejak saat itu aku sudah mulai meghasilkan uang sendiri dari hasil pertunjukkan. Walau tidak banyak, aku tetap senang karena aku bisa tetap melakukan hobiku. Tapi tidak dengan mom, dia selalu memarahiku sepulang dari pertunjukkan. Dia bilang aku bodoh, aku hanya seperti badut yang hanya bisa menghibur orang lain. Dia bilang, aku seharusnya jadi yang lebih bermanfaat. Mom ingin aku harus mengikuti kariernya sebagai penjual rumah. Mom bilang aku bisa menjadi kaya dengan itu.
Tapi aku tidak mau. Aku tidak ingin menjadi sepertinya. Aku ingin jadi seniman, penari, menjadi pemain dalam sebuah drama. Aku tidak butuh kekayaan. Yang aku butuhkan hanya seni. Seni dan nilai yang ada di dalamnya. Aku hanya ingin menyenangkan orang lain dengan tarianku.
Memikirkan itu semua bisa membuatku pusing. Jadi, kuputuskan untuk melupakannya sesaat. Aku berkonsentrasi untuk bisa sampai di rumah. Karena aku tidak ingin membuat mom marah lagi karena aku pulang terlalu malam.
Jalan yang kulewati makin lama makin gelap. Dan itu berarti rumahku semakin dekat. Orang- orang di sekitar rumahku tidak suka menyalakan lampu jalan pada malam hari. Mereka bilang  merusak keindahan malam.
Akhirnya aku pun sampai di depan gerbang. Mobil dad terparkir di depan rumah. Berarti dad sudah pulang. Kulangkahkan kakiku masuk ke dalam rumah. Udara dalam rumah kurasa lebih hangat dibanding udara di luar.
Di dalam, mom sedang sibuk membaca catatan- catatannya mengenai penjulan rumah minggu ini, dan dad sedang berkonsentrasi dengan korannya.
“ aku pulang.” Ucapku sambil menggantungkan mantel. Mom hanya melirikku sebentar kemudian melanjutkan kembali pekerjaannya. Kemudian, handphone mom berbunyi. Mom mengangkatnya.
“ hallo, ya… Jamie. Ada apa? Apa? Mrs. Renon tidak jadi membeli rumah yang dia pesan minggu lalu? Astaga, Jamie.. aku sudah … ya, aku tahu. Tapi aku sudah menolak Mr. Smitth yang ingin membeli rumah itu kemarin. Aku tidak enak kalau harus membujuknya kembali untuk membeli rumah itu. Ya…” mom melanjutkan mengobrol dengan Jamie di dapur. Aku pun segera naik ke kamar.
Setidaknya, di kamar aku merasa lebih temang. Sesampainya di kamar, aku langsung mengganti pakaian. Setelah itu, aku merebahkan diriku di kasur. Kunyalakan lagu- lagu penggiring balet.  Lagu- lagu Mozart dan Beethoven mulai mengalun. Lagu- lagu itu membawaku kembali merasa ada di gedung pertunjukkan. Aku menari,  melangkahkan kakiku kesana kemari.
Tiba- tiba semua lamunan itu berakhir. Mom dan dad bertengkar lagi.
“ kali ini apa lagi sih?” pikirku. Kutambah volume tape. Lebih baik tidak mendengar sama sekali apa yang mereka pertengkarkan dari pada harus pusing mendengarkan mereka bertengkar.
Musik terus mengalun, walaupun kadang diiringi suara mom yang meledak- ledak. Mereka memang selalu bertengkar. Seperti anak kecil.aku sendiri tidak tahu apa yang mereka pertengkarkan. Terkadang itu hanya masalah sepele. Sepanjang aku bisa mengingat, mereka sudah seperti itu.

To Be Continued...

Senin, 27 Desember 2010


Wheres My First Dating

Created By: Bieber Ann Potter
Tittle: Wheres My First Dating??


Part 1

Namaku Moore, ya… panggil saja aku begitu. Umurku 15 tahun dan aku adalah murid di st. John high school. Kau tidak akan pernah menyangka jika hidupmu akan berubah total hanya karena seekor tikus yg menjijikkan.  Tapi, itulah yang terjadi padaku. Gara- gara tikus itu, aku harus kehilangan semuanya. Aku pergi entah kemana dan ke zaman apa. Aku pergi ke tempat yang aku bahkan tidak pernah tau. Menjalankan sesuatu yang bukan tugasku. Menjadi seseorang yang bukan diriku.
Baiklah, aku akan mulai mencertakannya padamu. Ini semua dimulai pada awal musim panas. Saat itu, libur sekolah telah tiba. Aku berniat untuk melakukan hal yang sudah banyak dilakukan teman sebayaku malam awal libur musim panas. Aku akan melakukan kencan. Kencan pertamaku dengan cowok yang selama ini mengincarku seperti orang gila dan akhirnya menembakku, Greg.  Ya… namanya memang terdengar sedikit aneh tapi aku cukup menyukai namanya. Dia pemain basket sekolah. Sebenarnya Greg itu lebih kuanggap kakakku.  Ya… dia kakak kelasku. Beda 1 tingkat denganku sih.. sebenarnya.
Sudahlah… intinya aku berniat untuk pergi dengannya malam itu. Jadi, kuputuskan untuk pergi ke rumah Carneth, sahabatku sore harinya. Menanyakan apa yang harus kukenakan dan beberapa saran. Ya… sahabatku Carneth adalah seorang pakar kencan. Kencan- kencannya selalu berjalan mulus. Ya… setidaknya dia sudah kencan dengan 2 cowok tahun ini. Dan cowok terakhir yang dikencaninya adalah Johny, teman main basket Greg.  Aku tiba di rumah Carneth tepat jam 3 sore.  
“ hai, maaf. Aku….” Ucapku begitu bertemu Carneth di muka pintu.
“ sudah jangan banyak bicara. Ayo cepat masuk. Kita akan menghabiskan banyak waktu. Ayo cepat” potong Carneth sambil menarikku naik ke kamarnya.
Sesampainya kami di kamar Carneth, Carneth langsung menyuruhku duduk dikasur dan memulai pembicaraannya yg panjang.
“ ceritakan padaku sedikit bagaimana tepatnya Greg menembakmu. “
“ aku kan sudah memberitahumu kemarin. “
“oh ya, aku lupa. Baiklah, langsung mulai saja.”
“baiklah sekarang… kurasa waktu masih banyak untuk mendiskusikan pakaian apa yang cocok denganmu. “
Carneth langsung membuka lemari pakaiannya. Harus kukatakan Carneth tidak hanya ahli dalam hal kencan, dia juga ahli dalam hal fashion. Aku terkadang malu jika harus dibandingkan dengannya. Sahabat seorang ahli kencan adalah pecundang cinta. Hah… sudahlah. Dan aku akui juga pakaiannya memang segudang. Dan saat mendengar aku akan berkencan dengan Greg, dia langsung gembira dan menyuruhku ke rumahnya sebelum malam kencanku. Dia senang karena akhirnya aku dapat terbuka juga dengan cinta. Haha… selama ini aku dikenal sebagai cewek yang susah tertarik sama cowok- cowok disekolah. Ya… walaupun akhirnya aku juga menerima tawaran Greg untuk jadi pacarnya.
“ baiklah… kau suka warna apa? “ Tanya Carneth padaku.
“ merah.”
“ tidak… tidak.. terlalu mencolok untukmu. Bagaimana kalau putih. Tidak.. tidak… terlalu polos untukmu. Um…. “ Carneth mulai mengoceh sendiri.
 Aku hanya memandangnya mengobrak- abrik lemarinya. Sesekali kutengok jam tangan di pergelangan tanganku.
“ kau sudah selesai?” tanyaku pada Carneth beberapa saat kemudian.
“ ya… bagaimana kalau kau pakai ini, dan ini..” ucap Carneth sambil menjejalkan celana pendek berwarna putih serta baju berwarna ungu dengan tulisan “HE DRIVES ME CRAZY”
“ apa… he drives me crazy?? Dia tidak membuatku gila. “
“ ayolah hanya tulisan dikaosmu. Tak usah dipikirkan.” Ucap Carneth, “ sudah sana.”
Aku pun masuk ke kamar mandi dan mencoba baju yang diberikan carneth. Tidak begitu buruk. Kurasa aku akan menyukai malam ini. Aku keluar dan Carneth langsung berlari ke lemarinya yang masih terbuka dan mengambil cardigan panjang berwarna putih serta langsung menyuruku memakainya.
“ O Gee,, kau cantik sekali. Coba kau selalu berpenampilan seperti ini, pasti banyak cowok yang tertarik padamu. “
“ ah,, aku tidak sepertimu. Sudah cukup 1 cowok yg tergila- gila padaku.”
 “ um… masih ada waktu. Ayo.. kau harus kudandani. Tapi sepertinya lebih baik kau pergi ke kamar mandi untuk cuci muka. Kau sudah mandi kan?”
“ tentu saja aku sudah mandi. Enak saja. Memang kau kira aku kau??”
“ sudah. Sana cuci muka. Aku akan menyiapkan alat- alatnya. “ ucap Carneth sambil membuka peti kosmetiknya.
Setelah aku keluar kamar mandi, kulihat Carneth sudah siap dengan kosmetik- kosmetiknya di depan cermin besar.
“ duduklah,”
Aku duduk dan Carneth langsung bekerja. Petama- tama dia memasang bando kepalaku dan mulai memoles bedak.
“ kau ingin eyeshadow yg warna apa?”
“ terserah kau”
“ baiklah… kurasa merah muda tidak begitu mencolok dan terlihat alami. “ ucapnya langsung mengoleskan eyeshadow  di  atas kelopak mataku.  
“ kita lihat, lipgloss apa yang cocok untuk malammu.”
“ untuk apa mencari lipgloss yg tepat? Pakai yg biasa saja kurasa sudah cukup.”
“ astaga… tentu saja itu sangat penting. Itulah bagian terpenting dari sebuah kencan. “
“ kau tidak bermaksud mengatakan bahwa aku harus mencium Greg malam ini kan??”
“ tentu saja kau harus menciumnya. Itulah syarat pertama.”


To Be Continued...

Me, Ballet, and My Life

Created By: Bieber Ann Potter
Tittle: Me, Ballet, and My Life


Part 1


Alunan musik itu terdengar semakin keras. Lagu gubahan Mozart itu memenuhi telingaku. Aku terus menari, menari, dan menari. Aku bahkan tidak mendengar suara apapun selain musik yang sedang mengalun, termasuk hiruk- pikuk penonton yang ada di dalam ruangan. Aku terus menari, bagai peri kecil yang sangat bahagia. Terbang kesana kemari. Melupakan semua masalah yang ada. Seakan aku hidup dalam dunia yang penuh kebahagiaan tanpa ada masalah sedikit pun. Dan akhirnya aku  melakukan putaran foettes dengan sempurna. Melakukan posisi arabesque, dan tarianku berakhir.

Tirai panggung ditutup dan tepuk tangan penonton memenuhi ruangan. Aku beserta ketiga temanku membungkuk memberi hormat.  Pertunjukkan  terindah yang pernah kupentaskan. Aku merasa sangat bahagia malam ini.
Aku pergi ke belakang panggung . Saat aku sedang melepas sepatu pointe-ku, seseorang memegang pundakku.
“ pertunjukkan yang indah, Claire.” Ucap suara itu. Aku pun menoleh, di belakangku berdiri seseorang yang sudah sangat tidak asing lagi bagiku. Itu adalah Clarenz. Cewek TG yang sangat berjasa dalam hidupku. --tau kan, cewek TG. Itu.. cewek transgender. Ya… aku gak mau menyebutnya banci atau apapun. Aku lebih suka menyebutnya cewek TG—
“ Clarenz.. terima kasih. Aku sangat senang. Ini semua karena kau. Aku tidak akan menjadi seperti ini tanpa kau. Kaulah yang mengajarkannya padaku.” Ucapku menatapnya dengan mata berbinar. Selama ini Clarenz lah yang telah membiayai les baletku. Dialah juga yang memberikan aku semangat. Dialah yang membuatku bangkit. Melupakan semua masalah yang ada.
“ mungkin suatu saat kau bisa main di Bolshoi. Itu akan sangat fantastis.” Ucap Clarenz. Bolshoi… itu pujian yang paling menyenangkan bagiku.  Clarenz memang berkeinginan untuk manggung di Bolshoi. Aku rasa baginya itu mungkin. Tapi bagiku? aku hanyalah seorang penari balet amatir.
“ hahah… gak ah. Aku lebih senang maggung disini. Aku gak mau jadi terlalu terkenal.” Ucapku.
“ jangan bilang begitu. Kau pantas menari disana. Ohya, omong- omong… bagaimana keadaan rumahmu?” 
“ ehm… tidak begitu baik. Mereka tetap saja bertengkar.” Ucapku.
“ sabarlah. Aku yakin semuanya akan berakhir.” Ucap Clarenz. “ ohya, aku pergi dulu. Lusa kau ada latihan dengan Agatha. Jangan buat Agatha kecewa, ok.”
 “ tentu saja. Aku tidak akan mengecewakanmu dan Agatha.” Ucapku.
“ sampai jumpa, Claire. “ ucap Clarenz sambil melenggang pergi meninggalkan ruang ganti.
Aku menatap cermin, mengamati wajahku sendiri. Lalu menghapus semua make-up. Aku melepas tutu baletku. Tutu itu pemberian Clarenz tahun lalu. Tutu itu sangat indah. Berhiaskan pita berwarna ungu yang mengkilap. Aku sedikit miris. Clarenz begitu peduli padaku. Tapi orang tuaku… ah… mereka menolak keras aku menari balet.
Setelah merapikan kembali tutu dan sepatu pointe-ku aku pun pulang. Pulang… pulang ke rumah. Tempat yang seharusnya menjadi tempat kesukaan semua orang, justru menjadi tempat yang mengerikan buatku. Tapi, apa boleh buat. Aku tidak dapat meninggalkan orang tuaku. 

To Be Continued...